“UNDUUR
MA QOLLA, WA LA TANDUUR MAN QOLLA”
“jangan
lihat siapa yang bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan!”
Ucapan: “Jangan lihat siapa yang
bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan!” ini bukanlah firman Allah, sabda
Rasulullah ataupun kaidah ushul fiqh, sehingga kita tidak usah dipusingkan
dengan ucapan tersebut.
Ucapan tadi sengaja dipopulerkan oleh
orang-orang yang bermanhaj di sana senang di sini senang, sehingga mereka
mengambil ilmu atau belajar dari siapa saja karena berpegang dengan ucapan tadi.
Bahkan yang benar adalah kita mengambil
ilmu dari orang yang lurus manhajnya yaitu dari ahlus sunnah wal jama’ah bukan
dari sembarang orang apalagi dari ahli bid’ah.
Al-Imam Ibnu Sirin mengatakan:
إِنَّ هَذَا
الْعِلْمَ دِيْنٌ
فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama,
maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
(Muqaddimah Shahiih Muslim)
Beliau juga mengatakan: “Mereka (para
shahabat dan tabi’in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang sanad hadits.
Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat seperti Khawarij,
Syi’ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: “Sebutkan kepada kami sanad
kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka diterima haditsnya
dan apabila datang dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.” (Ibid.)
Memang, kita tidak memungkiri bahwa
bisa jadi setiap orang termasuk ahli bid’ah mengatakan sesuatu yang benar. Akan
tetapi apakah kita menjamin bahwa mereka tidak mencampurinya dengan kebathilan?
Atau mereka menyampaikannya tetapi dengan tafsiran yang salah? Atau apakah kita
dapat memilah mana yang benar dan mana yang salah?
Ketika mereka menyampaikan ayat, hadits
atapun ucapan para ulama, mereka ubah lafazhnya atau diselewengkan tafsirnya
sesuai dengan hawa nafsu mereka?
Ketika datang ahli bid’ah kepada
seorang ulama salaf, ingin menyampaikan satu kalimat atau satu ayat, maka ulama
tadi mengatakan: “Tidak, walaupun setengah kata (saya tidak akan
mendengarkannya).” Dan ketika ditanya: “Mengapa engkau tidak mau mendengarkan
ayat yang akan dibacakannya?” Maka sang ulamapun menjawab: “Saya takut kalau
dia membaca satu ayat lalu dia ubah lafazhnya dan hal ini menancap di hatiku
sehingga akupun menjadi sesat karenanya.”
Tidakkah kita takut terjatuh dalam kesalahan
dan penyimpangan akibat mengambil ilmu dari siapa saja? Hendaklah kita lebih
berhati-hati dan waspada dalam mengambil ilmu karena ilmu ini adalah agama yang
akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah di hari kiamat nanti.
Di samping itu, kalau kita mengambil
ilmu dari ahli bid’ah maka hati kita akan condong kepadanya sehingga mentolerir
kesalahan dan penyimpangannya yang akhirnya lambat laun kita mengikutinya
secara sempurna, yang pada awalnya kita hanya ingin mengambil kebaikannya saja,
nas`alullaahas salaamah.
Apakah ahlus sunnah tidak memiliki
kebaikan atau kurang kebaikannya sehingga kita harus mengambil ilmu dari ahli
bid’ah?
Bukankah masih banyak ahlus sunnah yang
mendakwahkan Islam berdasarkan pemahaman salafush shalih? Berhati-hatilah dalam
mengambil ilmu, mudah-mudahan Allah menunjukki kita semua kepada apa yang
dicintai dan diridhai-Nya. Wallaahul Muwaffiq.
Sumber
:
Buletin
Al-Wala’ Wal-Baro’ Edisi ke-23 Tahun ke-3 / 06 Mei 2005 M / 27 Rabi’ul Awwal
1426 H
http://adhwaus-salaf.or.id/2011/05/08/undhur-maa-qoolaa-walaa-tandhur-man-qoola/